top of page

Keynote Speech: National Awakening Day (Hari Kebangkitan Nasional) 2009 (Jakarta)

Laksmi delivers the keynote speech on National Awakening Day celebration at Gedung STOVIA, Jakarta.

 

Orasi Budaya

Hari Kebangkitan Nasional

Gedung Stovia

20 Mei 2009


Hari ini kita berkumpul di gedung bersejarah ini antara lain untuk

mengenang para korban tragedi Mei 98. Marilah kita luangkan

satu menit hening untuk mengingat perjuangan mereka demi

sebuah Indonesia yang bebas, adil, terbuka dan lepas dari segala

bentuk kekerasan dan penindasan …

…………………

Saudara-saudara yang saya hormati:

Saya salah satu dari jutaan orang yang bangga menjadi orang

Indonesia. Telah dicatat dengan baik oleh sejarah bahwa Indonesia

adalah sebuah republik dengan 17 ribu pulau yang tahan dalam

persatuan bukan karena kekuatan militernya. Adanya satu bahasa

yang digunakan oleh berpuluh-puluh wilayah dan suku bangsa

yang berbeda – sebuah bahasa yang tidak dipaksakan oleh

mayoritas, bahkan sebuah bahasa yang dikembangkan oleh

kalangan yang dulu disebut sebagai keturunan “asing” –

merupakan prestasi yang tak dapat dipungkiri.

Tapi akhir-akhir ini kata nasionalisme sering membuat saya

terpekur. Setiap kali saya mendengar kata itu, saya ingat

setidaknya tiga pengalaman.

Yang pertama terjadi suatu petang di bulan Juli 2006. Saya dan

sejumlah kawan sedang duduk di sebuah restoran di puncak bukit

di Ambon. Esoknya kami berniat berlayar ke Pulau Buru. Bersama

kami seorang ibu separuh baya—ia mantan kepala Badan Urusan

Logistik daerah—dan adik laki-lakinya. Keduanya bermata sipit,

dengan tutur kata lembut. Mereka bicara tentang kekerasan antar

agama di Maluku: tentang hamparan mayat, tentang tetangga yang

saling membantai, tentang kota yang terbelah menjadi merah dan

putih.

Mereka menyesali pertumpahan darah di bumi Maluku. “Nama

keluarga kami Chua.” Kata perempuan itu. “Kami berdua Muslim

keturunan Cina. Keluarga besar kami menamakan diri Marga

Ambon, dan kami adalah generasi kelima. Berabad-abad kami

hidup dengan perbedaan. Bhineka Tunggal Ika bukan sekadar

semboyan.”

Pengalaman kedua: Hari Kartini, tiga bulan sebelumnya, di

Jakarta. 6000 manusia, mayoritas perempuan, berpawai dari

Lapangan Monas ke Bunderan Hotel Indonesia. Meski mereka

turun ke jalan untuk menentang rancangan undang-undang

pornografi yang mengancam kebhinekaan Indonesia, ini sebuah

aksi damai. Suasana karnaval sangat kental. Pakaian mereka dari

Sabang sampai Merauke. Ada tari singa Cina, ada kelompok waria,

ada penari sing sing berbalut celana pendek. Hidup Pancasila!

Hidup Bhineka Tunggal Ika! Marilah kita rayakan kemajemukan

Indonesia! Demikian mereka bersorak.

***

Hadirin yang saya hormati,

Tak banyak yang ingat bahwa pada suatu hari di tahun 1962, dari

Hotel Indonesia berkumandang hingar-bingar nasionalisme. Dalam

acara peresmian hotel itu, Presiden Sukarno menggelar sebuah

pentas akbar berjudul Bhineka Tunggal Ika. Pagelaran 80 menit itu

terdiri dari 12 tari tradisional yang masing-masing diperpendek

menjadi tujuh menit dengan harapan ia akan lebih mudah dicerna

oleh penonton asing dan ibukota.

Kita tahu, Bung Karno di tahun-tahun itu mulai menjadi seorang

penguasa yang otokratik. Tapi ia tetap seorang pemersatu. Bagi

Sukarno, dengan segala cacat dan musykilnya, persatuan di atas

segala-galanya.

Bagi saya, yang lebih menarik tentang retorika nasionalisme Hotel

Indonesia saat itu adalah eklektismenya. Sebuah bangsa memang

lahir melalui proses (dalam tanda kutip) “melupakan”. Di satu sisi

ia mengatasi rasa ketidak-berdayaan yang ditinggalkan penjajahan

Belanda. Di sisi lain ia hasil dari “imagining” – untuk mengikuti

Benedict Anderson -- membentuk citra, tentang sebuah identitas

baru dengan melepaskan apa yang dihayati sebagai identitas lama:

Indonesia yang tidak sama dengan Jawa atau Sunda atau Minang.

Paradoks ini mengingatkan kita akan seorang tokoh lagi: Kartini.

Kartini telah mempelopori sebuah kesadaran identitas diri yang

merupakan dasar nasionalisme Indonesia kelak, yang tidak

berdasarkan identitas etnik atau budaya yang permanen. Bisa jadi

Kartini mendahului pemikiran kaum nasionalis di Indonesia yang

kemudian datang: nasionalisme yang berdasarkan sifat universal

manusia.

Kartini menunjukkan bahwa tuntutan untuk merdeka juga bisa

datang dari seorang perempuan Jawa, ketika perempuan itu

tertindas. Tuntutan itu universal, bisa datang dari semua bangsa di

muka bumi. Dan ini semua hanya bisa dikemukakan oleh seorang

seperti dia, yang selamanya berdiri sebagai “Yang Lain”, yang

bukan ini dan bukan itu. Kartini yang menghayati nilai-nilai

emansipasi itu bukan sepenuhnya “Timur” tapi bukan pula

“Barat”. Dengan kata lain, identitasnya tidak dikurung dalam

sesuatu yang partikular.

***

Hadirin yang terhormat,

Kartini, demikian juga semangat nasionalisme, adalah tanda bahwa

identitas mengalir, berubah dan menyerap dari sana sini. Ia tak

pernah baku, atau tunggal, melainkan selalu mengelak dari upayaupaya

untuk mendirikan batas atau menutup diri, entah lewat

formalisasi, penyeragaman, apalagi pemaksaan nilai-nilai sebuah

golongan (apalagi yang belum tentu merupakan mayoritas) ke

golongan lainnya.

Beberapa tahun yang lalu ada Parade Penari Tayub di Solo untuk

menentang rancangan undang-undang pornografi. Sebagai

perempuan, saya menganggap Tayub menyiratkan eksploitasi

perempuan. Namun, lewat aksi itu, para penari Tayub itu seakan

hendak mengingatkan kita tentang budaya abangan, yang kini

mulai pudar. Mereka menunjukkan bahwa ada ‘Jawa’ yang lain

yang dicoba direpresi. Sikap orang Indonesia dari Bali dan Papua

yang menolak aturan yang anti-pluralisme itu juga menandaskan

hal yang sama: bahwa menjadi orang Indonesia adalah menjadi

orang yang terbiasa hidup dengan perbedaan.

Pengalaman ketiga: Pada perayaan Hari Pancasila tanggal 1 Juni

2006, koor Universitas Indonesia menyanyikan sejumlah lagu

nasional. Mengikuti acara yang disiarkan di radio itu banyak

penonton menangis. Pada saat-saat seperti itu, kita memaknai

ulang kata-kata tersebut justru karena kita merasa kebhinekaan kita

terancam, persatuan kita terlumpuhkan. Justru karena kita tak ingin

Tragedi Mei 98—sebuah horor anti-pluralisme—berulang, justru

karena kita tak ingin Kekerasan Monas 2008 terjadi lagi, kita

merasa butuh akan apa yang dibawakan Pancasila itu – Pancasila

yang selama bertahun-tahun diculik oleh Orde Baru untuk dikuasai

sendiri.

***

Kita layak bersyukur, kita masih merindukan persatuan dalam

perbedaan itu. Semenjak Boedi Oetomo mendirikan Jong

Sumatranen Bond pada tahun 1917, dan yang lalu disusul oleh

Jong Jong lainnya hingga Sumpah Pemuda, semangat inklusif itu

telah terpancang bagai batu peradaban. Saat itu, nasionalisme

Indonesia, sebagaimana yang akhirnya diresmikan setelah

Reformasi – ketika perbedaan antara “pribumi” dan “non-pribumi”

ditiadakan dalam konstitusi yang disahkan di tahun 1999 -- telah

mengatasi dasar-dasar etnis ini.

Sejalan dengan ini, Indonesia tak menyebut dirinya negeri sekuler,

tapi negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia ini

juga tak pernah memproklamirkan dirinya Negara Islam. Semakin

tak lakunya partai-partai yang mengusung ke-Islaman adalah

testimoni bahwa Indonesia begitu besar.

***

Hadirin yang saya hormati,

Batas senantiasa berubah, dan dengan demikian acuan-acuan kita

tentang diri kita sendiri pun berubah pula.

Dalam konteks tersebut, generasi saya acap mendengar dua

pertanyaan: Benarkah, seperti dikeluhkan orang tua, patriotisme

anak muda meluntur? Dan dalam persaingan-persaingan

internasional, bisakah kita percaya ada takdir yang menentukan

bahwa Indonesia akan terpuruk selama-lamanya?

Kita tahu bahwa media massa hidup dari berita-berita tentang

kejadian yang tidak lazim, tidak rutin, dan seringkali dramatis.

Tapi kita tahu bahwa dalam kenyataannya, Indonesia tidak hanya

itu. Indonesia lebih dari sekedar berita buruk.

Semenjak tahun 1999, republik ini bahkan telah merupakan negeri

dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan sekaligus sebuah

demokrasi yang hidup, di mana media massa tidak disensor, di

mana perdebatan pikiran berlangsung leluasa dan kehidupan

kesenian praktis tumbuh tanpa kekangan. Pemuda-pemudi republik

mencapai prestasi unggul di bidang kegiatan ilmiah dalam

perlombaan internasional; pelbagai bentuk teknologi baru

diciptakan.

Dari semua itu, saya merasakan ada dua macam patriotisme:

patriotisme yang menjunjung tradisi dan nilai-nilai luhur sebuah

bangsa, dan patriotisme yang senantiasa memperbaharui dirinya.

Keduanya membutuhkan kerja keras, keterbukaan, rendah hati,

dialog, harap.

Dengan memperingati hari kebangkitan nasional hari ini, kita

merayakan warisan sejarah bahwa bangsa kita adalah bangsa yang

bangkit dari dan bangga dalam pluralisme.

Laksmi Pamuntjak

Jakarta, 20 Mei 2009





bottom of page