Kekasih Musim Gugur
Penerbit:
Tahun penerbitan:
Gramedia Pustaka Utama
2020
Sinopsis
Kekasih Musim Gugur bukan saja kisah tentang Timur dan Barat, kebebasan dan sensor, senirupa dan aktivisme, memori dan identitas. Namun juga tentang pertalian manusia yang terdalam: hubungan ibu dan anak, bapak dan anak, dan persaudaraan perempuan.
“Namun rahasia seperti warna. Tatap dalam-dalam, dan ia mulai menuturkan selaksa cerita.”
Kekasih Musim Gugur adalah kisah dua perempuan, Srikandi (Siri) dan Dara. Yang satu seorang seniman kosmopolitan, yang satunya lagi seorang aktivis politik. Siri adalah anak haram Amba dan Bhisma, tokoh utama novel pertama Laksmi Pamuntjak, Amba.
Setelah bertahun-tahun mengembara di pelbagai kota di dunia—London, New York, Madrid—Siri memutuskan hidup di Berlin untuk menghindar dari masa lalu keluarganya yang kelam. Tak disangka, sebuah berita mengejutkan memaksanya pulang ke Jakarta. Di sana ia harus menghadapi tak hanya realita keluarganya yang pedih, tapi juga jalin-kelindan kompleks antara seni rupa, agama, politik dan sejarah, terutama ketika salah satu pamerannya dihujat dan dilarang karena dianggap melanggar susila.
Dalam pergulatannya, Siri juga harus memaknai ulang hubungannya dengan ibunya, Amba; dengan mantan sahabatnya, Dara; dengan anak tirinya, Amalia; dan dengan sejarah bapak kandungnya yang kelam—bapak kandung yang tak pernah ia ketahui.
Pujian untuk
Kekasih Musim Gugur
“Novel Laksmi ini sempurna menangkap tegangan kompleks hubungan antar individu; dendam-rindu, benci-cinta, dalam sejarah keluarga yang dibayangi luka politik, dan bagaimana seni rupa menjadi strategi yang membebaskan. Dengan kepiawaiannya berkisah, Laksmi menyeret kita masuk dan melihat luka itu sebagai luka kita sendiri.” —Nezar Patria, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post
“Sejak halaman pertama, ketika Srikandi menyatakan dia memiliki dua bapak, maka kita tak akan bisa berhenti membaca novel ini hingga halaman terakhir. Berbeda dengan Amba, Srikandi adalah seorang perempuan urban, kosmopolit yang bergerak cepat, sesigap ritme novel ini. Meski pusat cerita adalah Srikandi, tetapi seluruh novel berkisah tentang tiga generasi perempuan yang terus-menerus mencari dan menemukan diri, melalui pertikaian, pertarungan sekaligus cinta yang tak pernah hilang.” —Leila S. Chudori
“Ada melodi yang liris dalam cara Laksmi Pamuntjak bertutur, rangkaian kata yang sesekali mengalun dan kali lain mengentak. Memasuki ruang-ruang interior para karakter di Kekasih Musim Gugur seperti dituntun ke sebuah museum seni. Kadang anggun, kadang liar, tetapi hampir selalu elegan.” —Dee Lestari
“…Sastra adalah cara penulis menyampaikan gagasannya, bukan gagasan yang disampaikannya, yang pada hakikatnya sama sejak sastra ditulis. Novel ini merupakan satu langkah dalam pencapaian Laksmi sebagai sosok penting dalam pertumbuhan sastra ....—Sapardi Djoko Damono
“Novel Kekasih Musim Gugur ini membuka tabir kehidupan seorang perupa kontemporer, sebuah konteks yang jarang muncul dalam novel-novel Indonesia terkini. Siri merepresentasikan figur seniman yang romantik dan eksentrik, tapi kemudian harus memikirkan ulang ideologi berkeseniannya ketika ia dihadapkan pada polemik karyanya di tengah masyarakat Indonesia yang menggunakan isu agama sebagai topeng berpolitik. Laksmi membentang dunia seni global dengan dahsyat dan gamblang—intrik pasar, seks dan percintaan, hasrat menjadi terkenal dan fenomenal. Sebagai bagian dari pergerakan seni global, Siri juga menjelajahi berbagai tahap sejarah seni modern, dari Vermeer, Munch dan Matisse hingga politik seni Sudjojono dan Djoko Pekik. Kisah ini juga membingkai trajektori sejarah seni dalam narasi seniman perempuan, yang sering tak masuk dalam kanon seni, di mana kita menemukan Kaethe Kollwitz hingga Louise Bourgeois, bahkan gejolak abstrak Umi Dachlan dan aspek seksualitas I GAK Murniasih.” —Alia Swastika
“… Di satu sisi sebuah kisah petualangan pencarian identitas pribadi, di sisi lainnya sebuah kisah tentang sejarah seni rupa dan perjalanan bangsa.” —Amir Sidharta, kurator seni rupa, pendiri Balai Lelang Sidharta
“Novel yang dalam dan menyentuh… dengan prosa yang berkilau dan kearifan yang menawan tentang jalin-kelindan seni rupa, politik, sejarah, dan agama.”
—Ahmed Rashid, penulis Pakistan on the Brink: The Future of Pakistan, America and Afghanistan, Jihad: The Rise of Militant Islam in Central Asia, Taliban: The Power of Militant Islam in Afghanistan and Beyond, kontributor New York Review of Books
“Kekasih Musim Gugur adalah sebuah novel yang indah dan menyentuh tentang jiwa pengembara dan transformasi diri seorang seniman perempuan, tentang mereka yang hilang dari teman dan keluarga, tentang jiwa yang patah dan menolak pulang, juga yang harus menghadapi trauma masa lalu dan masa kini dengan mata dan hati yang terbuka. Novel ini sanggup mengubah semua orang yang membacanya.” —Ales Stéger, novelis, penyair, penulis Neverland, Kasmir, Berlin, Absolution, The Book of Things
“Lebih dari sekadar novel ... Kekasih Musim Gugur adalah tembang sensual tentang kehilangan, dahaga, dan harapan.” —David van Reybrouck, penulis Revolusi, Against Elections, Congo, salah satu sejarawan dan intelektual publik paling berpengaruh di Eropa saat ini
“Dalam novel ini Laksmi menggerakkan segala daya perempuan Asia urban masa kini, dengan kosmopolitanisme-nya yang rentan dan tak jarang beresiko, untuk menggali bagian pedih sejarah Indonesia yang terus membekas pada—bahkan melukai—upaya bangsa ini bereksperimen dengan demokrasi.” —Profesor Emeritus Krishna Sen, University of Western Australia; Fellow, Australian Academy of the Humanities
"… Dalam sekuel dahsyat dari novel Amba ini, Laksmi Pamuntjak memadukan wawasan dan pemikirannya yang terdalam tentang negerinya yang kompleks dengan kearifannya tentang hubungan perempuan—dengan teman, anak, dan orangtua. Berbekal kepekaannya sendiri sebagai seorang seniman, Laksmi menunjukkan betapa pentingnya peran seni rupa dalam merayakan kemajemukan, melakukan perlawanan, serta membayangkan ulang masa lalu, apalagi dalam konteks intoleransi yang semakin meningkat dewasa ini. Hasilnya adalah sebuah testamen yang memukau atas ketrampilan Laksmi menjalin fiksi dan otofiksi. Nikmatilah Fall Baby untuk prosanya yang cemerlang, lapisan-lapisannya yang bernas tentang masa lalu dan masa kini, dan peringatannya bahwa sejarah tak pernah hanya hitam atau putih." –Dr Natali Pearson, Sydney Southeast Asia Centre, University of Sydney
“Siri, yang dengan lincah dan menyentuh dipenakan oleh Laksmi Pamuntjak, bukan hanya seorang kosmopolit. Jauh dari itu, Siri adalah satu titik cantik dalam jaringan hubungan manusia yang kompleks dan kaya.” —Profesor Dwi Noverini Djenar, Dekan Departemen Studi Indonesia, Fakultas Studi Bahasa dan Budaya, University of Sydney